KEKERASAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Kekerasan dapat terjadi dimana-mana, termasuk di
sekolah. Adapun definisi dari kekerasan pada siswa adalah
suatu tindakan keras yang dilakukan terhadap siswa di sekolah dengan dalih
mendisiplinkan siswa (Charters dalam Anshori, 2007). Ada beberapa bentuk kekerasan yang umumnya
dialami atau dilakukan siswa, yaitu:
- Kekerasan fisik : kekerasan
fisik merupakan suatu bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan luka atau
cedera pada siswa, seperti memukul, menganiaya, dll.
- Kekerasan psikis : kekerasan
secara emosional dilakukan dengan cara menghina, melecehkan, mencela atau
melontarkan perkataan yang menyakiti perasaan, melukai harga diri, menurunkan
rasa percaya diri, membuat orang merasa hina, kecil, lemah, jelek, tidak berguna
dan tidak berdaya.
- Kekerasan defensif : kekerasan
defensife dilakukan dalam rangka tindakan perlindungan, bukan tindakan
penyerangan (Rini, 2008).
- Kekerasan agresif : kekerasan
agresif adalah kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu seperti
merampas, dll (Rini, 2008).
Berikut ini
merupakan cuplikan kronologi kejadian “Orang Tua Suruh Anak Pukul Guru”, salah
satu contoh dari bentuk kekerasan yang terjadi di dalam dunia pendidikan:
Sabtu pekan
lalu (24/9/11), Khalid atas perintah Syahbudin (ayahnya), memukul Syafrudin
gurunya sendiri di sebuah ruang kelas Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Kota
Bima-NTB. Pemukulan guru oleh murid ini terjadi di depan puluhan murid lain,
sejumlah guru, dan tiga orang polisi.
Tak puas,
Syahbudin bahkan sempat mengangkat meja kelas untuk dibantingkan ke muka
Syafrudin. Namun tindakan itu buru-buru dicegah guru-guru lain. Syafrudin
kesakitan karena dipukul dan dipermalukan lalu menangis.
Kemarahan
Syahbudin dipicu laporan Khalid telah dipukul Syafrudin, sehari sebelumnya.
Sang guru kesal karena merasa dipermainkan murid-muridnya, termasuk Khalid yang
menyembunyikan bola di meja guru. Akibat pukulan itu konon wajah Khalid memar.
Kejadian
seorang guru dipukul muridnya di Bima, Nusa Tenggara Barat, beberapa waktu
lalu, rupanya menyulut kemarahan berbagai pihak, bahkan mengundang solidaritas
para guru di kota
itu. Mereka mogok kerja hingga beberapa sekolah terpaksa diliburkan.
Sejumlah mahasiswa
di Kota Bima berunjuk rasa di Gedung Sekretariat PGRI, Kamis (29/9/11). Mereka
bahkan nyaris menduduki gedung tersebut. Para
mahasiswa mengecam PGRI yang dinilai lamban bertindak terkait kasus pemukulan
Syafrudin, seorang guru Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Kota Bima oleh muridnya
sendiri [baca: Orangtua Suruh Anak Pukul Guru].
Sebelumnya,
mahasiswa berunjuk rasa di Kantor Kementrian Agama Kota Bima. Pada mahasiswa
Kepala Kantor Kemenag berjanji menindak Kepala MTSN 1 Bima jika terbukti
membiarkan terjadinya kekerasan di lingkungan sekolahnya.
Kasus ini juga
mengundang solidaritas guru lainnya. Di sejumlah sekolah para guru mogok
mengajar. Akibatnya sekolah-sekolah tersebut diliburkan. Para
guru menuntut polisi dan pemerintah memproses kasus itu secara adil.
Menyusul
pemukulan itu, pihak sekolah menghukum Syafrudin dengan memberinya skorsing,
sedangkan Khalid diliburkan untuk sementara. Belum jelas apakah karena didemo
mahasiswa atau karena sebab lain, PGRI Kota dan Kabupaten Bima rencananya akan
menggelar unjuk rasa Senin mendatang (diperkirakan tanggal 4/10/11).
Kejadian ini
mempermalukan institusi pendidikan di Bima. Pihak-pihak terkait didesak untuk
bertindak tegas agar kejadian serupa tidak terulang.
Faktor-faktor
penyebab kekerasan dalam dunia pendidikan, yaitu:
- Dari guru
1. Kurangnya pengetahuan bahwa
kekerasan baik fisik maupun psikis tidak efektif untuk memotivasi siswa atau
merubah perilaku, malah beresiko menimbulkan trauma psikologis dan melukai
harga diri siswa.
2. Persepsi yang parsial dalam
menilai siswa. Bagaimana pun juga, setiap anak punya konteks kesejarahan yang
tidak bisa dilepaskan dalam setiap kata dan tindakan yang terlihat saat ini,
termasuk tindakan siswa yang dianggap "melanggar" batas. Apa yang
terlihat di permukaan, merupakan sebuah tanda/sign dari masalah yang
tersembunyi di baliknya. Yang terpenting bukan sebatas "menangani"
tindakan siswa yang terlihat, tapi mencari tahu apa yang melandasi
tindakan/sikap siswa.
3. Adanya masalah psikologis yang
menyebabkan hambatan dalam mengelola emosi hingga guru yang bersangkutan
menjadi lebih sensitif dan reaktif.
4. Adanya tekanan kerja: target
yang harus dipenuhi oleh guru, baik dari segi kurikulum, materi maupun prestasi
yang harus dicapai siswa didiknya sementara kendala yang dirasakan untuk
mencapai hasil yang ideal dan maksimal cukup besar.
5. Pola authoritarian masih umum
digunakan dalam pola pengajaran di Indonesia. Pola authoritarian mengedepankan
faktor kepatuhan dan ketaatan pada figur otoritas sehingga pola belajar
mengajar bersifat satu arah (dari guru ke murid). Implikasinya, murid kurang
punya kesempatan untuk berpendapat dan berekspresi. Dan, pola ini bisa
berdampak negatif jika dalam diri sang guru terdapat insecurity yang berusaha di
kompensasi lewat penerapan kekuasaan.
6. Muatan kurikulum yang
menekankan pada kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan kemampuan afektif
(Rini, 2008). Tidak menutup kemungkinan suasana belajar jadi kering dan stres
berat, dan pihak guru pun kesulitan dalam menciptakan suasana belajar-mengajar
yang menarik, padahal mereka dituntut mencetak siswa-siswa berprestasi.
- Dari siswa
Sikap siswa
tidak bisa dilepaskan dari dimensi psikologis dan kepribadian siswa itu
sendiri. Adanya suatu kecenderungan tanpa sadar bisa melandasi interaksi antara
siswa dengan pihak guru, teman atau kakak kelas atau adik kelas.
Perasaan bahwa
dirinya lemah, tidak pandai, tidak berguna, tidak berharga, tidak dicintai,
kurang diperhatikan, rasa takut diabaikan, bisa saja membuat seorang siswa
malah memancing orang tersebut untuk meresponsnya meskipun dengan cara yang
tidak sehat. Contohnya: tidak heran jika anak berusaha mencari perhatian dengan
bertingkah yang memancing amarah orang, dengan tujuan agar mendapat perhatian.
Sebaliknya, bisa
juga perasaan tidak berharga dikompensasikan dengan menindas pihak lain yang
lebih lemah supaya dirinya merasa hebat.
- Dari keluarga
1. Pola Asuh yang salah,
misalnya: orang tua terlalu memanjakan dan atau terlalu mengekang.
2. Orangtua mengalami masalah
psikologis, misalnya: orang tua terlalu sering memarahi anak.
3. Keluarga disfungsional,
misalnya: keluarga yang salah satu anggotanya sering memukul (menyiksa fisik
atau emosi) dan atau sering adanya kejadian konflik terbuka.
- Dari lingkungan
1. Adanya budaya kekerasan.
2. Tayangan televisi yang banyak
berbau kekerasan, dsb.
Cara untuk mengatasi kekerasan dalam dunia
pendidikan, yaitu:
- Bagi guru
1. Hindari memarahi murid jika
murid berbuat salah.
2. Sabar dalam menghadapi murid
yang nakal.
3. Anggaplah murid adalah teman atau
keluarga bagi guru.
4. Berbahagialah saat melakukan
pendidikan.
- Bagi siswa
1. Hilangkan rasa balas dendam
kepada adik tingkat, jika pada saat perkenalan pendidikan siswa diperlakukan
tidak enak dari kakak tingkat siswa sebelumnya.
2. Jika pernah mengalami
kekerasan dalam pendidikan, maka segera sharing pada orangtua atau guru atau
orang yang dapat dipercaya mengenai kekerasan yang dialaminya sehingga siswa
tersebut segera mendapatkan pertolongan untuk pemulihan kondisi fisik dan
psikisnya (dengan catatan: jangan mengompor-ngompori orang yang dicurhati untuk
melakukan/membantu balas dendam atas permasalahannnya).
- Bagi orang tua atau keluarga
1. Menjalin komunikasi yang
efektif dengan guru dan sesama orang tua murid untuk memantau perkembangan
anaknya.
2. Orangtua menerapkan pola asuh
yang baik.
3. Hindari tayangan televisi yang
tidak mendidik.
4. Segera menyelesaikan
permasalahan yang terjadi, meminta bantuan pihak professional jika persoalan
dalam rumah tangga tidak dapat diatasi sendiri.
- Bagi sekolah
1. Menanamkan pendidikan tanpa
kekerasan di sekolah.
2. Memperbaiki kebijakan dan
sistim pendidikan yang berkenaan dengan pola pendidikan yang hanya mengutamakan
kualitas kognitif dan sering melupakan pembinaan sikap dan mental para siswa,
melakukan kerjasama antar pihak sekolah dan warga sekolah dalam rangka
pelaksanaan pendidikan yang baik.
3. Membatasi
penayangan-penayangan kekerasan yang dapat dilihat langsung di sekolah.
Kembali pada
persoalan di atas, seharusnya kepala sekolah tidak boleh bertindak seperti itu.
Bagaimana mungkin kepala sekolah bisa membiarkan wali murid menghakimi guru
begitu saja, tanpa mempertimbangkan dahulu bagaimana semestinya tindakannya
sebagai kepala sekolah itu harus adil dan bijaksana. Apalagi guru tersebut
langsung diskorsing. Sebagai kepala sekolah harus memiliki dimensi kepribadian,
manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial. Sedangkan, sebagai guru harus
memiliki dimensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan sosial.
Apa jadinya negeri ini, jika murid sudah
berani melawan gurunya, dunia ini kini seakan terbalik.
0 komentar:
Posting Komentar