MENGOMENTARI
UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI
BAB VII KETENTUAN PIDANA
PASAL 32
Berbunyi: Setiap orang yang memperdengarkan,
mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
Kemudian, dari pasal 32 menuju ke Bab II Larangan
dan Pembatasan, Pasal 6, berbunyi: Setiap orang dilarang memperdengarkan,
mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh
peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, dari Pasal 6 dihubungkan ke Pasal 4
ayat (1), berbunyi: Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara
eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang
menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan
ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.
Kembali ke Pasal 32, menurut pendapat saya bahwa orang
yang bisa kena pasal ini adalah pekerja infotainment, wartawan media massa, masyarakat
yang telah melihat video tersebut secara bersama-sama (tidak sendiri) dan/atau
orang-orang yang memperlihatkannya kepada orang lain. Selain itu, adapun orang
yang menyimpan produk pornografi juga dapat terseret ke dalam pasal ini, karena
telah membagikan maupun menyebarluaskan produk pornografi kepada orang lain,
baik secara langsung maupun tidak langsung atau secara sengaja maupun tidak
sengaja. Contoh faktor langsung sekaligus sengaja, yakni: orang yang menyimpan
produk langsung menawarkan kepada orang lain untuk menyaksikan maupun
menggandakan produk tersebut. Sedangkan, contoh faktor tidak langsung, yakni:
ketika orang yang menyimpan produk, ternyata mencantumkan produk tersebut kepada
orang lain, yang semestinya tidak dipublikasikan, dan kebanyakan si penyimpan
ini tidak berniat menampilkan hal yang buruk, namun si penyimpan ini dapat
terseret ke ranah hukum karena menurut berbagai pihak lain bahwa hal ini kurang
sepantasnya disajikan. Kemudian, faktor tidak sengaja, misalnya: ketika si
penyimpan produk secara tidak sengaja mengedarkan produk tersebut kepada
khalayak umum, mungkin membagikan/mengirimkannya melalui
handpone/androyd/tablet/pc/laptop/maupun berbagai jenis touch screen yang lain
dan sebagainya.
Adapun opini saya yang lain tentang UU Pornografi
ini ialah seharusnya UU ini lebih tepatnya diberikan nama/judul UU
Pemberantasan Tindak Pidana Pornografi. Mengapa demikian? Karena pada
kenyataannya masih banyak orang yang melanggar UU ini, baik dari kalangan atas
maupun bawah, baik di dunia perfilman yang sudah lulus sensor maupun di dunia
pergaulan/kalangan masyarakat (yang menampakkan tindakan/adegan pornografi).
Namun, di antara mereka tidak terseret ke ranah hukum, padahal sebenarnya hal
tersebut termasuk tindak pidana pornografi. Jadi, kejadian seperti ini layaknya
sama halnya dengan diadakannya pemberantasan korupsi yang masih merajalela dan
pemberantasan bibit-bibit teroris yang masih tersebar.
0 komentar:
Posting Komentar