Di
dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa
pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tujuannya adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
tanggung jawab. Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satu bidang studi yang
harus dipelajari oleh peserta didik di madrasah adalah Fiqh. Dengan adanya materi fiqh ini, diharapkan
dapat membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia.
Berdasarkan 22 Standar Kompetensi (SK) dan 52 Kompetensi
Dasar (KD) di dalam Standar Isi di atas dapat dianalisis bahwa dari SK
tersebut, dapat dilihat bahwa mayoritas materinya adalah tergolong fiqih
“praktis”. Maksudnya adalah materi fiqih yang diajarkan memprioritaskan fiqih
yang dekat terhadap pengalaman nyata siswa dan siap diamalkan dalam
keseharian (direct learning) mereka. Namun, pembahasan tentang ibadah,
seperti shalat, seharusnya tidak hanya terbatas pada syarat, rukun, sunnah, dan
batalnya. Melainkan juga menyinggung adab dan hikmah yang
relevan agar siswa mampu mengenali bahkan menerapkan akhlak yang terpuji dan
mengetahui manfaat dari ibadah.
Materi
fiqih juga tidak hanya mencakup hal-hal yang pokok. Misalnya, yang dipelajari jangan hanya shalat fardhu.
Melainkan juga harus mempelajari shalat sunnah dan puasa sunnah. Contoh lainnya
yaitu, dalam materi tayammum, seharusnya dijelaskan bahwa tayammum tidak
hanya dilakukan ketika tidak ada air. Tetapi, tayammum juga dilakukan oleh
orang sakit parah.
Sementara itu, dalam perspektif psikologis, jika melihat
substansi standar kompetensi dan kompetensi dasar dari SK dan KD untuk kelas
III semester 2 dan kelas V semester 2, bisa diamati bahwa substansi materinya
nampak tidak tepat untuk anak seusia mereka. Seperti materi puasa yang
diberikan kepada anak kelas III semester 2. Dalam standar kompetensi disebutkan
yakni: “Mengenal Puasa”, kemudian kompetensi dasarnya adalah pertama,
“Menjelaskan ketentuan puasa Ramadhan”, dan kedua, “Menyebutkan hikmah puasa
Ramadhan”. Kemudian, SK dan KD kelas V semester 2 juga, yakni “Mengenal
tatacara ibadah haji”, dengan kompetensi dasarnya, yakni: pertama, “Menjelaskan
tata cara ibadah haji”, dan kedua, “Mendemonstrasikan tata cara ibadah haji”.
Ketidaktepatan pemberian materi puasa untuk kelas III
semester 2 didasari karena adanya ketidakcocokan antara materi itu dengan kehidupan
nyata mereka, yang rata-rata baru berusia 9 tahun. Perlu diketahui bahwa untuk
usia tersebut, karakter perkembangan agama mereka baru mampu memahami sebatas
dari apa yang bisa dilakukannya. Sehingga ketika puasa pada usia itu belum
menjadi kewajiban bagi diri mereka. Maka sebaiknya puasa akan lebih tepat
diberikan pada kelas-kelas yang lebih tinggi, di mana anak sudah baligh, seperti
kelas V atau kelas VI. Pada tingkatan ini anak bisa merasakan berkewajiban
puasa.
Kemudian dalam SK dan KD fiqih MI kelas V semester 2,
disebutkan bahwa standar kompetensi kedua, yakni: “Mengenal tatacara ibadah
haji”, dengan kompetensi dasarnya, yakni: pertama, “Menjelaskan tata
cara ibadah haji”, dan kedua, “Mendemonstrasikan tata cara ibadah
haji”. Kompetensi
dasar di atas, nampak adanya tumpang tindih yang hampir mirip dengan materi
kelas II semester 2. Pada bagian materi fiqih kelas V semester 2 ini nampak
sekali bahwa ada upaya untuk menanamkan kognitif dan motorik saja, tanpa memperhatikan
pembentukan sikap pada sisi afektif. Hal ini dikarenakan, materi Haji ialah
ibadah yang sebenarnya dilakukan bagi mereka yang sudah mampu. Di sini anak
dibawa untuk memahami suatu materi yang jauh dari kehidupan ibadah yang
sebenarnya. Proses pembelajaran langsung
tidak terjadi pada hal ini.
Dengan
demikian, fiqih MI sebaiknya menyajikan materi-materi sesuai dengan kehidupan nyata,
yang dapat dialami oleh peserta didik. Sehingga kunci keberhasilan pembelajaran
fiqih MI juga sangat ditentutakan oleh materi yang dipilihnya.
Sedangkan
standar kompetensi yang nomor 2, untuk fiqih MI kelas III semester 2, yakni
“Mengenal amalan-amalan di bulan Ramadhan”, memuat materi pada standar
kompetensi maupun di kompetensi dasar sebagai penjabarannya tersebut, sudah
bisa dinilai tepat untuk usia anak kelas III. Kemudian juga untuk fiqih MI
kelas V semester 2 standar kompentensi pertama, yakni, “Mengenal ketentuan
ibadah Qurban”, dengan kompetensi dasarnya, yakni: pertama, “Menjelaskan
ketentuan Qurban,” dan kedua, “Mendemonstrasikan tata cara Qurban”. Pendapat
kami tentang perayaan qurban sama seperti amalan-amalan bulan Ramadhan, yang
merupakan amalan umum, semua anak pasti dan pernah mengikutinya, baik karena
ajakan orang tua, tetangga, saudara, atau niat pribadi. Sebuah amalan yang menjadi
tradisi. Maka materi ini tepat bagi anak MI kelas V, karena berkaitan dengan
salah satu sifat yang penting dari perkembangan berpikir operasional konkrit,
yakni sifat deduktif-hipotetis. Jadi, mengeksplorasi pengetahuan anak dengan memberikan
rangsangan melalui materi yang relevan dengan konteks realitas yang ada pada
dasarnya akan mengefektifkan proses pembelajaran fiqih itu sendiri.
Sementara
itu, beberapa contoh dari kompetensi dasar di atas, yakni seperti, “Menjelaskan
ketentuan puasa, Menyebutkan hikmah puasa, Menjelaskan ketentuan shalat tarawih
dan witir, Melaksanakan tadarus, Menjelaskan ketentuan Qurban,
Mendemonstrasikan tata cara Qurban, Menjelaskan tatacara haji, dan
Mendemonstrasikan tata cara haji.” Penyusunan urutan kompetensi dasar perstandar
kompetensi dasar di atas yang dimulai dari penjelasan secara verbal, kemudian
baru ranah praktisnya adalah selaras dengan karakter dasar dari perkembangan
agama anak yang masih bersifat, verbalized and ritualistic. Suatu
karakter keagamaan yang ditunjukkan pada anak yang mula-mula tumbuh secara
verbal atau ucapan. Kemudian, anak menghafal bacaan-bacaan tersebut, kemudian
melakukannya dan membiasakannya. Jadi, dari segi urutan tujuan pembelajarannya, SK dan KD fiqih MI dalam contoh
di atas adalah relevan dan tepat.
Dapat
disimpulkan bahwa, kompetensi mata pelajaran fiqih nampak hanya berkaitan
dengan ranah kognisi dan psikomotor, sedangkan ranah afeksi masih kurang
tersentuh. Jika dalam mata pelajaran akidah-akhlak terdapat kompetensi,
misalnya: “menghayati, terbiasa atau membiasakan, dan mencintai” itu termasuk
ranah afeksi, maka sangatlah mungkin dalam mata pelajaran fiqih dimasukkan
kompetensi afektif.
3.
PERBEDAAN
ANTARA MI DENGAN SDI
Di Madrasah Ibtidaiyah (MI) materi fiqh dibuat dalam satu
disiplin ilmu berdasarkan kurikulum departement agama. Sedangkan, di sekolah
dasar islam (SDI), sebagian ada yang terpadu menjadi mata pelajaran Pendidikan
Agama Islam (PAI) dan sebagian lagi ada yang disendirikan menjadi satu disiplin
ilmu pada mata pelajaran fiqh, seperti halnya di MI.
Dengan
demikian, secara umum mata pelajaran di MI lebih banyak jika dibandingkan
dengan di SDI. Sehingga,
dapat menguras tenaga siswa MI.
4.
KESIMPULAN
Pada
dasarnya isi SK dan KD materi fiqih di madrasah ibtidaiyah adalah seperti acuan
yang telah ditetapkan oleh Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 dan Permendiknas
Nomor 22 Tahun 2006 namun telah di-review dan dikembangkan oleh
Departemen Agama. Namun secara substansial isinya tidak ada perbedaan.
Beberapa
bagian dari SK dan KD fiqih MI berdasarkan beberapa analisis menurut perspektif
psikologis maupun pedagogis ada nuansa tidak pada tempatnya. Maksudnya adalah
SK dan KD mengandung materi yang bertentangan dengan realitas kebutuhan dan karakteristik
perkembangan kejiwaan peserta didik.
Pengembangan
SK dan KD fiqih MI pada dasarnya dikembangkan kepada indicator pencapaian hasil
belajar, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, media pembelajaran sampai
kepada evaluasi pembelajaran yang didasarkan kepada pertimbangan mengenai
pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun psikis peserta didik di Madrasah Ibtidaiyah
yang masih taraf anak-anak.
0 komentar:
Posting Komentar